Fikirku “Samurai: Istana Burung Gereja” dan “Suzume-no Kumo”

Fikirku “Samurai: Istana Burung Gereja” dan “Suzume-no Kumo”

Genji, ksatria bersenjatakan pedang yang flamboyan – sake dan wanita adalah kegemarannya— lebih mirip sosok yang lemah di permukaan. Meski dia seorang bangsawan dan juga samurai, hatinya—tak seorangpun yang bisa menebak. Ketika pengikutnya menyangka dia terlalu murah hati dengan pengaruh dan keberadaan orang asing, pandangannya justru melangkah jauh ke depan –mungkin bakatnya atau lebih tepat kutukannya sebagai peramal yang membuatnya bersikap demikian dan cenderung bertindak tak gegabah.

Lalu ketika Jepang masih sangat erat dan konvensional terhadap tradisi ke-samurai-an, dia sangat menyayangkan hal ini dan berkata Jepang akan ketinggalan jauh oleh negara-negara barat jika hanya bertengkar dan menumpahkan darah atas nama sejarah, sopan santun, dan hal-hal sepele. Aku salut pada sikap Genji ini.

Tapi bukankah sisi kebangsawanan Akaoka-nya terkoyak ketika dia mengetahui bahwa Heiko—geisha yang dicintainya adalah anak dari Eta—kelompok rendahan yang bahkan tak pantas disebut sebagai manusia. Lalu siapa kamu sebenarnya Genji? Orang yang sangat pro terhadap perubahan dan tidak setuju dengan adat sopan santun Jepang, begitu tercoreng dan terusik harga dirinya hingga ingin membumihanguskan Desa Eta. Apakah kamu benar-benar ksatria burung gereja ataukah kau hanya sosok bangsawan yang masih sangat enggan untuk mengakui kealpaan-mu? Di mana letak prinsip samurai sejati yang biasanya kamu agung-agungkan? Genji, oh Genji… “hidupku tak lebih berarti ketimbang mati” begitu katamu. Tahu dan tidak tahu merupakan satu kesatuan—begitu juga dengan terbuka dan tertutup. Akhirnya aku mengerti …..

Kata Romo Haryatmoko dalam Filsafat Hermenetika (Filsafat Kecurigaan) teks dapat bermakna apapun sesuai dengan interpretasi audiensinya, bisa meluas, bisa juga menyempit. Bisa pro atau kontra atau bisa keduanya maupun tidak kedua-duanya.

Jadi berikut ini fikirku mengenai Suzume-no Kumo

“kata-kata dapat melukai
diam dapat menyembuhkan
tahu kapan untuk bicara,
dan kapan saatnya diam
adalah kearifan seperti yang diceritakan hikayat.”

Mungkin kalimat yang filosofis ini merupakan gambaran seorang samuarai Jepang, seorang ksatria sejati yang lebih banyak menegaskan sikapnya dengan perilaku dan tindakan. Tanpa sepatah kata, jika seseorang melanggar tradisi Jepang maka seorang samurai tanpa ragu akan menebas kepalanya, melainkan dia bangga dengan tindakannya itu karena dia telah menjaga tradisi yang sangat dijunjung tinggi oleh masyarakat Jepang. Junjungan seorang samurai adalah pemilik hidupnya. Apapun yang dikatakan sang junjungan, samurai hanya akan mengatakan “hamba mendengar dan hamba patuh.” Jika sang junjungan mengajaknya berdiskusi, dia akan bertindak sesuai dengan tingkat ke-samurai-annya. Sebagian besar mereka hanya mengatakan “tuanku, terima kasih, ampun.” Jawaban yang sangat singkat bukan. Sesuai dengan kata-kata bijak di atas, samurai sangat paham memahami posisinya untuk mengeluarkan pendapat atau pun hanya bertindak.

Interpretasi yang lain yang sempat muncul dalam benakku adalah hal ini sangat mirip dengan apa yang diajarkan oleh Islam. Bukan kah Nabi juga pernah bersabda bahwa lidahmu adalah pedang. Apapun yang dikeluarkan oleh lidah berbentuk kata-kata merupakan senjata yang dapat melukai orang lain bagai sebilah pedang. Diam sangat dianjurkan dalam Islam ketika seseorang tidak mengetahui apa yang sedang dibicarakan ataupun ketika dia mengira bahwa kata-kata yang dikeluarkan dapat menyakiti perasaan orang lain.

Namun yang paling penting dari kata-kata bijak ini adalah diam bukan berarti pasif dan bersikap pasrah. Bukan  kah dalam jawa ada yang mengatakan “sing waras ngalah”? Tapi bukankah seperti itu yang diinterpretasikan banyak orang? Diam untuk kemenangan di akhir. Seorang samurai tidak akan bersikap demikian. Dia akan melawan dengan tindakan jika apa yang diyakini sedikit saja tercoreng.

Ah, lagi-lagi ini membuatku berfikir jauh mengenai hal-hal yang berbau kekerasan yang mengatasnamakan agama, negara, dan suku. Alexander the Great pernah memimpin perang salib, Salahuddin pernah memimpin perang atas nama Islam, Hindu dan Budha pun tidak luput juga tak luput dari pertumpahan darah. Lalu, seberapa besarkah pengaruh ideologi ini? Diam untuk agama, diam untuk hal yang terjangkau oleh akal fikir manusia, dan diam ketika tidak berdaya menghadapi kekuasaan.
“pengetahuan dapat menghambat
ketidaktahuan justru dapat membebaskan
tahu kapan saatnya untuk tahu,
dan kapan saatnya untuk tak tahu,
adalah kearifan para nabi dan kaum bijak.”

Kata-kata bijak seperti ini pun bagiku tetap bagai pisau bermata dua. Sangat bermanfaat bagiku, untuk kesekian kalinya menjadi orang awam ataupun orang bodoh. Yang berfikir untuk diri sendiri dan keluargaku tanpa pusing urusan dunia lain. Tak perlu tahu birokrasi, politik munafik, maruknya manusia akan keperluan dunia. Dengan demikian aku tak sakit hati memusingkan hal-hal yang jauh dari jangkauanku. Hidup hanya untuk-Nya, seperti santri yang dengan tekun mengaji dan mengaplikasikan apa yang diajarkan oleh Islam. Layaknya seorang biarawati yang hanya patuh untuk melayani umat. Ataupun seorang biksu yang mengandalkan hidup dari alam dan selalu mengagungkan rahmat sang penguasa alam semesta.

Tapi di sisi lain, fikirku, jika terlalu banyak orang awam di bumi ini, orang yang sudah gila dunia akan semakin menjadi-jadi. Mereka bertindak dengan semena-mena, menghancurkan si miskin, menindak yang tak bersalah, dan menjerat rakyat dengan hutang yang besar. Pendapatan negara pun semakin menipis karena kasus korupsi semakin meningkat. Akan dibawa ke mana dunia ini? Kehancuran? Pastinya. Hanya ada 3 hal bukan yang pasti di dunia ini? Hidup, mati, dan hari kiamat.

“tak terganggu oleh kata-kata, ke-diam-an,
pengetahuan atau ketidaktatahuan,
sebuah pedang tajam menebas tajam
ini adalah kearifan seorang prajurit.”
(1434)
taken from: Takashi Matsuoka’s SAMURAI: Cloud of Sparrows Castle

Seandainya aku seorang ksatria, maka aku akan bersyukur karena aku dapat bertindak tegas walau apapun yang menghalangiku. Tetapi, bukankah kadang-kadang ketegasan juga selalu membawa pada kekonyolan? Mengapa pecinta klub sepak bola tertentu rela mati demi klubnya itu? Walau apapun yang terjadi? Mungkin sebenarnya ketika seseorang tegas pada kebenaran dan kebajikan, maka dialah tonggak sejarah dunia. Wa Allahu a’lam bish showab.

Posted on March 19, 2010, in miscellaneous, thoughts and tagged , , , . Bookmark the permalink. 3 Comments.

  1. saya sangat menyukai apa yang anda tulis,, dan sampai sekarang pun saya masih belum bisa mengerti atau menginterpretasikan kalimat “pengetahuan dapat menghambat ketidaktahuan justru dapat membebaskan tahu kapan saatnya untuk tahu, dan kapan saatnya untuk tak tahu”. saya cuma berpikir bahwa itu mungkin berlaku sesuai dengan takdir kita,, maksudnya menjadi apa dan berperan sebagai apa kita di dunia ini,,

    • Nice one … saya setuju dengan pendapat Anda.. teks ini sangat luas dan dalam maknanya.

      Entahlah, saya jadi berfikir kenapa harus ada takdir ya? Fikiran liar saya bilang hal ini sangat membatasi ruang gerak manusia 🙂

  2. I am also grateful to have a teacher like you ….. since you assist the students not only from the academic aspect, but also you assist students from many aspects …. so you do not tend to help one student. that’s all mam … thank you so much for everything you taught me …. I hope you become a role model for your students later .. mr.D

Leave a comment